Biografi Abdul Malik Fadjar



Prof. Dr. Abdul Malik Fadjar (lahir di Yogyakarta, Hindia Belanda (kini Indonesia), 22 Februari 1939; umur 73 tahun) adalah Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong Royong. Ia adalah lulusan tahun 1972 dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Malang.

Lelaki kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939 ini mengaku tidak pernah bermimpi menjadi menteri. Namun, amanah telah mengantarkan mantan Rektor Ummuh Malang dan UMS ini menjabat Menteri Agama pada Kabinet Reformasi dan Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong-Royong.

Membaca adalah bahagian yang tidak terpisahkan dalam hidupnya. Tidak hanya membaca buku. Membaca lebih dari sepuluh media cetak setiap pagi menjadi kegiatan rutinnya. Dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya, Mendiknas Abdul Malik Fadjar, mengatakan memanage pendidikan adalah memanage masa depan, yang berarti juga memanage informasi. Orang yang bisa memanage informasi akan memperoleh keberhasilan yang lebih.

Saat Presiden mengumumkan menteri dalam Kabinet Gotong Royong, ia sedang mengajar dalam kelas di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berita terpilihnya menjadi Menteri Pendidikan Nasional ia dengar dari radio.

Sesaat setelah pelantikan, kepada pers ia mengatakan masalah paling mendesak adalah bagaimana segera mewujudkan pendidikan yang lebih memanusiawikan manusia. Pendekatannya lebih humanis, yaitu ada keseimbangan antara head (rasio), heart (perasaan) dan hand, tetapi semuanya harus saling bersinergi, melibatkan keseluruhan unsur tidak jalan sendiri-sendiri.

Selama ini, pendekatan yang digunakan dalam dunia pendidikan kita masih lebih birokratik, monopolisme sehingga menyesakkan dada. Belum menumbuhkan suasana demokratis dan memberikan kebebasan hak asasi manusia. Maka ia bertekad mencari cara untuk mewujudkan keinginan pendidikan yang memanusiakan manusia itu.

Lelaki kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939 ini menegaskan bahwa pendidikan harus berorientasi pada masa depan. Sementara, tuntutan-tuntutan masa depan terhadap perkembangan zaman, terus berubah. Karena itu, menurutnya, tanggung jawab menjadi seorang menteri tidak hanya saat ini, tetapi tanggung jawab masa depan.

Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) memulai karir sebagai guru agama di SD Negeri Taliwang, Sumbawa Besar. Ia langsung menjadi guru selepas lulus dari Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Negeri Yogyakarta tahun 1959. Jadi, ia seorang menteri yang telah merasakan bagaimana cita-duka menjadi guru di daerah terpencil. Gaji pas-pasan, ke sekolah harus naik sepeda berkilo-kilo. Bahkan saat mengajar di universitas pun, ia sering berangkat mengajar dengan membonceng motor mahasiswa.

Meskipun hidup sulit saat menjadi guru, ia mengaku merasa bersalah apabila tidak bisa memenuhi kewajibannya mengajar. Ia merasa memiliki kebahagiaan tersendiri bila mengajar. "Ada suatu perasaan yang tidak bisa saya ungkapkan saat berdiri di depan kelas dan mengajar. Sesuatu yang tidak dapat dibayar dengan materi," katanya. Ia pun yakin kalau masih banyak guru di seluruh Indonesia mempunyai komitmen tinggi dalam mendidik anak bangsa.

Kondisi guru yang pas-pasan tak membuatnya berhenti menjemput masa depan. Setelah menjadi guru agama selama empat tahun, pada tahun 1963, ia meneruskan pendidikan ke jenjang sarjana muda di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang. Kemudian, dilanjutkan lagi hingga meraih gelar sarjana tahun 1972. Begitu lulus ia mengajar di almamaternya. Kemudian menjadi Sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel hingga tahun 1979.

Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjutkan studi di Department of Educational Research, Florida State University, Amerika Serikat. Dari sana ia meraih gelar Master of Science tahun 1981. Setelah itu, ia mendapat kehormatan menjadi guru besar di IAIN Sunan Ampel.

Kemudian anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan Fadjar Martodiharjo dan Salamah, ini dipercaya menjabat sebagai Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh Malang) tahun 1983 hingga tahun 1984. Lalu menjabat Rektor di dua universitas yakni Unmuh Malang dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) hingga tahun 2000.

Tahun 2000, ia diangkat menjadi guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karirnya memuncak saat diangkat menjabat Menteri Agama pada masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Pada pemerintahan Gus Dur, ia kembali ke kampus. Lalu pada era kepemimpinan Megawati, ia diangkat menjadi Mendiknas.

Sejak kecil ia sudah aktif di kegiatan kepanduan di Yogyakarta. Semasa kuliah pun, ia juga termasuk aktivis Himpunan Mahasiswa Indonesia. Sejak tahun 1972 ia aktif di Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia, juga aktif di Muhammadiyah, ICMI dan HIPIIS.

Pendidikan, Masa Depan
Pendidikan sebagai kebutuhan hidup, memainkan peranan sosial atau dukungan terhadap pertumbuhan dan juga memandu perjalan umat manuisia, baik itu perorangan, masyarakat, bangsa dan negara. Lazim disebut education is the necessity of life as social function, as growth, as direction. Maka posisi pendidikan menjadi sebuah kegiatan yang merangkum kepentingan jangka panjang atau masa depan.

Bukan sekedar kebutuhan dalam pengertian yang umum, tetapi sebagai kebutuhan mendasar. Pendidikan juga sering disebut sebagai investasi sumber daya manusia, dan sebagai modal sosial seseorang. Sehingga tidak akan mungkin selesai, tetapi berkelanjutan. Jadi membicarakan pendidikan adalah membicarakan masa depan. Dan masa depan selalu mengalami perubahan yang luar biasa.

Jauh sebelum ahli pendidikan masa depan Alvin Pufler menegaskan bahwa pendidikan terkait dengan perkembangan masa depan, Rasolallah Muhammad telah bersabda "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka adalah anak generasi zaman berbeda dengan zaman kamu".

Jadi harus memberikan hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga hal-hal yang terus berlangsung. Karena hidup itu terus berlangsung, maka menangani pendidikan sebetulnya sama dengan menangani masa depan, memanage masa depan. Oleh karena itu harus terus–menerus diperbaharui, dipertegas dan dipertajam.

Sama dengan orang makan. Seorang bayi kecil ketika lahir, hanya diberi susu ibu. Kemudian secara bertahap dikondisikan untuk bisa berkembang. Begitu juga akan hal yang material dan inmaterial harus terpadu. Kecerdasan juga harus terpadu, yakni kecerdasan emosi, spritual dan intelektual.

Untuk menjemput masa depan adalah sebuah proses. Di situlah peran seorang pendidik untuk mengkondisikan, baik di tengah keluarga, masyarakat ataupun secara formal di sekolah. Sehingga sekarang orang pun tidak terlalu memilah-milah antara pendidikan sekolah dan di rumah yang merupakan terminologi pendidikan klasik yang formal. Itu sudah menyatu, bahkan orang menyebutnya sebagai entity, sudah tidak ada batas. Bahkan pada jenjang lebih tinggi ada di masyarakat. Oleh karena itu pendidikan tidak pernah berakhir, maka lalu ada istilah Life Long Education.

Sebelum itu juga, Rasulallah Muhammad telah menyampaikan bahwa pendidikan itu dimulai dari bai sampai liang lahat. Kemudian muncul istilah belajar sepanjang hayat, life long learning, pendidikan usia dini, dan sebagainya. Itu istilah-istilah akademis, dalam prakteknya sudah berjalan. Agar hal itu menjadi sistematis maka dibangunlah sistem. Sehingga setiap negara membangun sistem pendidikannya. Dan tentu hal itu semua dikaitkan dengan lingkungan geografisnya, demografisnya, sospol, agama dan yang lain.

Maka sepanjang pengalamannya sebagai murid atau juga sebagai guru, selalu saja orang mempertanyakan bagaimana pendidikan yang tepat untuk sebuah generasi atau satu generasi. Kemudian dari situ orang melakukan pembaharuan-pembaharuan, ditambah dengan teori-teori manajemen untuk mencari pemecahan masalah yang efesien, efektif, produktif, dan berkualitas dengan berbagai penemuan yang kreatif dengan membangun sekolah-sekolah unggulan.

Faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi itu luar biasa. Di dalam dunia pers saja sudah luar biasa. Berapa sumbangan yang diberikan dunia informasi terhadap pendidikan?

Bangsa ini juga telah melahirkan komitmen yang tertuang dalam UUD 45, setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan pendidikan bahkan wajib memperoleh pelayanan pendidikan yang baik.

Karena pendidikan adalah untuk masa depan yang tidak bisa mudah diprediksikan tentu dengan UUD tersebut dapat lebih mudah diprediksi. Tentu hal ini memerlukan dukungan fasilitas dan biaya yang luar biasa besarnya. Sering kita tidak pernah menghitung, karena hal itu perlu adanya perhitungan secara ekonomis, sehingga lahirlah teori-teori ekonomi pendidikan yang orang menyebutnya mencari rate of return.

Oleh karena dasar itulah, bangsa ini berkomitmen menempatkan sebagai wajib, sehingga ada subsidi. Subsidi pada pendidikan itu juga tidak akan pernah selesai dan tidak pernah mencukupi. Makanya disebut subsidi. Walau itu tidak berlebih-lebihan juga. Oleh karena itu jelas bahwa pendidikan itu menjadi tanggung-jawab keluarga, orangtua, masyarakat dan negara.

Tentu negara-negara yang kaya memiliki subsidi yang besar di dalam anggaran pendidikannya. Tapi coba kita bayangkan dana yang dikeluarkan oleh orangtua, masyarakat, berapa? Jadi itulah yang kita perlu pikirkan. Kita tidak boleh terjebak kepada yang masa kini atau yang telah kita lewati tetap menjadi pengalaman, tetapi kita harus lebih menatap ke depan.

Kalau kita bayangkan 2004-2010 bagaimana kehidupan Indonesia? Perubahan akan banyak terjadi. Perubahan yang terjadi di tahun 1998 hingga sekarang saja hampir kita tidak pernah bayangkan. Jadi para pendidik seharusnya mengamati dan memperhatikan masalah itu dengan pendekatan yang terpadu dan komperhensif.

Luar biasa dan mengasyikan juga. Tapi itu semua harus dilihat kunci utamanya apa? Kalau dalam terminologi pendidikan disebut the basic (membaca, menulis, dan berhitung) atau three art (reading, writing and arimatic) sekarang di perluas dengan kemampuan berbahasa (bukan hanya kemampuan bahasa Indonesia tetapi juga bahasa asing). Faktor dasar ini harus menjadi kuat kalau Anda sudah bisa membaca, menulis, berhitung dan dengan berbahasa yang baik, yang lain hanya tinggal mengikuti saja. Nah mengajar the basic-lah yang paling berat. Bukan hanya SDM guru atau pengajar sekolah dasarnya saja tetapi semua guru di seluruh jenjang harus ditingkatkan.

Pendidikan itu tidak pernah berakhir. Saya sekarang juga masih jadi dosen, tetapi tidak boleh berhenti untuk belajar berpikir, sehingga ada istilah berpikir dan berpikir kembali. Think and re-think, Shape dan re-shape. Pendidikan itu harus dipikirkan dan dipikirkan kembali dan dibentuk dan dibentuk kembali. Seperti sekarang pendidikan dengan teknologi modern menggunakan pendekatan-pendekatan multi-dimensi.

Sistem pendidikan itu memiliki dua misi, seperti dua sisi sekeping mata uang, moral dan intelektual. Moral itu agama, budaya, tradisi, sosial dan yang lain, sedangkan intelektual adalah kecerdasaan dan ideologi (menyangkut ideologi bangsa dan negara). Maka setiap negara memiliki bangunan-bangunan yang disebut sebagai sistem. Ada yang berdasarkan sistem liberal, sistem klasik, sistem nasional. Ada juga menggunakan sistem agama sebagai bagian ideologi, maka digunakan sistem Islam. Hampir semua dalam implementasinya tidak banyak jauh berbeda namun masih dapat dibedakan.

Seperti sekolah yang menggunakan sistem liberal dengan sistem nasional, tentu ada perbedaanya. Tetapi semua itu tidak bisa diseragamkan. Tidak tujuan dari pendidikan untuk menyeragamkan anak. Di sekolah, pakaian seragam bukan bertujuan dan berarti untuk menyeragamkan anak. Biarpun seragam, namun tiap individu adalah berbeda. Dalam satu keluarga saja sudah berbeda, apalagi sudah lain bapak dan ibu, lain suku, lain etnis.

Dengan sejarah perkembangan pendidikan nasional, yang dirintis oleh bangsa kita jauh sebelum masa kemerdekaan, di sana Budi Utomo, Taman Siswa, dan Muhammadiyah, dikukuhkan sebagai satu sistem dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Kemudian dikembangkan dan diperbaiki pada tahun 1950 dengan dilahirkannya UU No. 4 tahun 1950, namun tidak sempat diundangkan. Baru kemudian pada tahun 1954 dikeluarkan UU No. 12 tahun 1954. Perdebatan yang saat ini ada sudah ada saat itu.

Kemudian pada zaman Bung Karno, tahun 1959, setelah Dekrit Presiden, pada tahun 1960, lahirlah Panca Wardana dalam rangka membangun National Character Building, belum sempat itu terbenahi sudah diperbaharui lagi dengan Sapta Usaha Tani yang semua intinya sama, tidak jauh berbeda. Tetapi kekuasaan atau politik itu selalu mempengaruhi pendidikan. Kemudian juga yang terjadi pada zaman orde baru begitu banyak perubahan. Demikian juga dengan zaman reformasi sekarang yang menuntut perubahan. Dan setiap perubahan akan menimbulkan polemik, perdebatan dan pro-kontra. "Jadi kalau hal itu terjadi saya sudah tidak kaget lagi," katanya.

Bahkan, menurutnya, dulu waktu menyusun undang-undang pendidikan dan pengajaran tahun 1950, ketika masa pemberontakan DITII di Aceh, mereka menolak untuk menerima undang-undang tersebut dan mengacam bahwa Sumatera akan menolak undang-undang pendidikan dan pengajaran tersebut.

Sangat wajar jika ada perbedaan-perbedaan pendapat. Oleh karena itu perlu diadakan pendekatan-pendekatan mengenai konvensi. Tetapi bukan berarti tidak ada ada pro-kontra. Pro-kontra selalu ada. Di dalam demokrasi pasti ada kesepakatan, walaupun tidak bulat, sudah berarti sepakat. Akhirnya implementasinya juga akan diatur dalam peraturan pemerintah. Tetapi namanya zaman sekarang sudah cair, ketika rancangan UU No. 2 saja pernah ramai, apalagi sekarang.

Ia menyimpulkan pengalaman hidupnya, bahwa menjadi guru itu mengasyikan, mengajar itu mengasyikan. Sedangkan kalau menteri berbeda dalam masalah menyita pikiran dan tenaga. Memiliki lingkup yang lebih besar dan berhubungan dengan birokrasi, hubungan nasional dan internasional, ada pendekatan seni yang berbeda.

Namun, menjadi menteri, ia merasa biasa-biasa saja. Karena ketika setelah menjadi menteri agama, ia kembali mengajar. Sekarang pun ia juga masih mengajar. Menurutnya salah satu yang membuat menjadi guru itu mengasyikan adalah guru itu tidak mengenal kata pensiun, pensiunnya sebagai pegawai saja. Di rumah saja masih dipanggil Pak Guru.

Hatinya Menangis
Kendati ia termasuk menteri berusia tua (nomor dua paling tua setelah Kwik Kian Gie) di jajaran Kabinet Gotong Royong, ia selalu bersemangat dalam bekerja. Ia sering melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau, untuk melihat potret pendidikan Tanah Air.

Saat keliling daerah dan melihat kondisi SD di beberapa daerah, hatinya menangis. "Menangis hati saya melihat itu semua," katanya dalam wawancara dengan Suara Pembaruan. Bangunan SD itu tidak pernah direnovasi sejak tahun 1970-an. Waktu berkunjung ke Irian, ia berpikir, pantas mereka minta merdeka, tidak ada pembangunan di sana.

Departemen ini diposisikan sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab untuk mencetak generasi penerus bangsa. Sementara hingga saat ini, pendidikan bangsa ini masih dinilai tertinggal. Ketertinggalan atau kegagalan pendidikan itu pula disebut sebagai penyebab utama rontoknya bangsa ketika menghadapi krisis multidimensi. Lebih prihatin lagi, manakala korupsi di Depdiknas sudah membudaya.

Ia berharap, mudah-mudahan sejak masuk departemen ini hal itu tidak terjadi lagi. Harapan itu muncul karena ia terus memantau proyek-proyek yang ada di Depdiknas. Salah satu yang ia lakukan adalah tidak pernah mau didatangi rekanan pemborong. Kalau pemborong datang untuk mengobrol, ia persilakan. Tapi kalau sudah mulai membicarakan proyek, ia tidak mau. Itu memang sudah menjadi wataknya sejak menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Malang dan Surakarta. Di dua lembaga pendidikan tinggi itu, dulu ia membangun bermiliar-miliar, dan tidak pernah mau untuk berbicara soal proyek dengan kontraktor.

Sebelum menjabat Mendiknas, ia juga sempat menjabat Menteri Agama, departemen yang kaya penyimpangan. Saat menjabat Menteri Agama itu, ia pernah pegang uang sampai triliunan. "Yang namanya haji, pasti uangnya besar sekali. Tapi maaf-maaf saja kalau saya diajak menyelewengkan dana itu," ujarnya. Lihat juga, ia menjadi satu-satunya menteri agama yang tidak naik haji. "Tugas saya di sana adalah mengawasi saja. Jadi begini, kalau kita memberi keteladanan, setahap demi setahap, pasti akan ada hasil," ujarnya saat diwawancara Suara Pembaruan.

Ia pun berupaya melakukan kontrol ke bawah. Diawali keteladanan, dari dirinya sendiri. Lalu, setiap ada kasus atau tender, selalu ia cek. Ia juga banyak mendapat laporan. Kalau ia merasa ada yang tidak beres, langsung dibatalkan. Ia tidak peduli siapa yang pegang, pokoknya kalau ada keanehan, ia minta untuk segera dibatalkan.

Hasilnya, alhamdulilah, dana Jaring Pengaman Sosial, Bahan Bakar Minyak, yang disalurkan melalui Depdiknas relatif bagus. Laporan Depdiknas menjadi laporan terbaik dua tahun 2002-2003 versi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.

Ia memang mengembangkan program block grant di Depdiknas. Program ini sangat menguntungkan karena langsung menuju ke sasaran. Orang tidak bisa macam-macam dengan hal itu.

Baginya, tidak ada toleransi terhadap KKN. Ia berharap jangan Depdiknas saja yang harus bersih dari KKN, tapi semua sistem pemerintahan. KKN jangan ada lagi. Mental korup harus dihilangkan.

Menyinggung mengenai sistem lulus dan tamat belajar, ia bilang orang mengulang itu biasa dalam belajar. Kesalahan pemahaman tentang ini sudah muncul sejak anak duduk di bangku sekolah. Kalau tidak naik kelas orangtuanya ngamuk. Guru akhirnya tidak berani tidak menaikkan. "Saya bilang, coba kalau tidak lulus jangan diluluskan," jelasnya. Harus dibedakan antara lulus dan tamat belajar. Zaman dulu ada lulus dan tamat belajar. Hanya yang luluslah yang bisa melanjutkan sekolah.

Ini yang harus diubah. Yang penting bisa baca, menulis, berhitung, tahu tentang lingkungannya. Ia juga sudah bicara dengan rektor universitas dan direktur-direktur sekolah tinggi lainnya. Sekarang mereka buat kelas ekstensi, kelas eksekutif, doktor, semua dibuka. "Saya orangnya keras, dengan rektor saya juga keras. Saya bilang pada mereka, untuk apa sih gelar, kalau memang belum mampu, jangan diluluskan."

Sesungguhnya ada masalah juga dalam hal standar kelulusan ini. Yakni dengan kondisi dan fasilitas sekolah yang berbeda dituntut standar kelulusan yang sama.Maka, ia pun sependapat semua sekolah harus diberi fasilitas yang sama. Ia mengaku sudah pernah membicarakan hal ini di sidang kabinet dan dengan presiden. Presiden menanyakan, berapa yang dibutuhkan untuk merenovasi SD di seluruh Tanah Air. Untuk SD saja diperlukan sekitar Rp 16-18 triliun. Karena memang SD di seluruh Tanah Air sejak tahun 1970-an tidak pernah direhabilitasi.

Hal ini tentu berakibat pada Human Development Index (HDI) Indonesia yang begitu rendah. Walaupun kalau dambil 10 persen dari seluruh penduduk, tidak terlalu buruk.

Jumlah penduduk jangan dianggap sebagai suatu hal yang memberatkan. Paradigma pendidikan juga harus diubah. Pendidikan harus dibuat sebagai investasi jangka panjang. Ini human investment. Seperti Korea, dia membangun sumber daya manusianya. Sekarang pemerintah sudah menunjukkan kemauan politik dengan mengamandemenkan UUD 1945. Dana untuk pendidikan 20 persen, itu kan berarti ada kemauan politik yang bagus. Meskipun belum terpenuhi. Tapi komitmen sudah ada.

Pendidikan tidak ada hentinya, proses itu harus terus berlanjut. Negeri yang berani investasi sumber daya manusia, itulah yang berhasil. Bisa dilihat Malaysia, Singapura dan Korea Selatan. Meskipun sumber daya alamnya sedikit, tapi mereka menanamkan investasi di sumber daya manusia, mereka bisa maju. Korea Selatan mampu menaikkan pendapatan per kapita dari 600 dolar menjadi 9.000 dolar dalam waktu relatif singkat, 20 tahun. Sekarang disusul oleh Cina dan Filipina sudah mulai menikmati.

Jumlah penduduk jangan menjadi beban, tapi istilahnya sourcing center, bagaimana pemerintah bangga dengan rakyatnya. Karena tenaga kerja yang ada di luar negeri bisa menyumbang devisa US$ 8 miliar per tahun. Ini luar biasa. Jadi jangan menjelek-jelekkan TKW. Walau diakui sering mendengar penjualan tenaga kerja ke negara asing, atau kisah menyakitkan yang dialami para TKW. Tapi yang bagus juga banyak. Tolong semua itu diberitakan secara berimbang.

Kalau mau melihat pendidikan, sepanjang fase pasti ada kelemahan. Maka pendidikan tidak pernah selesai. Memulai suatu fase, berarti harus melakukan penyegaran di sana. Itulah bicara pendidikan. Saat krisis, kita baru sadar betapa pentingnya pendidikan. Itulah kenyataan yang harus kita hadapi sekarang, tidak usah saling menyalahkan. Justru saat ini kita harus tampil untuk melakukan sesuatu untuk mengadakan perbaikan. Seperti otonomi, banyak yang mengatakan kalau itu terlambat, kok baru sekarang dilakukan, kemudian berandai-andai. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Mengenai perguruan tinggi, menurutnya, seperti birokrasi pemerintahan. Maka harus diregulasi dan direstrukturisasi secara besar-besaran. Dulu dilakukan depolitisasi kampus, sekarang dilepaskan tanpa ada regulasi baru. Ia melihat banyak hal yang harus perbaiki di perguruan tinggi. Ia sudah menyampaikan lewat tulisan dan rapat dengan rektor. Ia berharap perbaikan perguruan tinggi itu jangan top down terus. Diperlukan inisiatif dan otonomi.

Otonomi itu menyangkut tiga aspek. Pertama, pembangunan sistem pelaksanaan, termasuk manajeman dan kurikulum. Dan yang paling tahu soal itu adalah daerah. Kedua akuntabilitas, pertanggungjawaban, ini mutlak. Pada siapa? Pertama pada masyarakat, orang tua peserta didik, terakhir pada Tuhan. Pada masyarakat iya, karena pendidikan itu menyangkut masa depan, menyangkut perjalanan masa depan anak bangsa. Jangan asal-asalan jangan melakukan pembodohan, apalagi menipu. Yang ketiga, memberi jaminan terhadap mutu pendidikan. Yang masih kurang, suruh saja mengulang. Kenapa sih takut sekali mengulang. Lebih baik mengulang daripada memberi nilai tambahan.

Sampai sekarang ia masih menguji S2 dan S3. Kalau yang ia uji jelek, ia minta mahasiswa tersebut mengulang ujian. Meluluskan itu sebuah pertanggungjawaban, baik secara institusional baik sebagai individual.

Baginya, pekerjaan guru adalah sebuah komitmen. Ia sudah menjadi guru sejak tahun 1959. Pahit getirnya menjadi guru sudah pernah ia rasakan. Jalan kaki, naik sepeda berkilo-kilo, itu harus dilakukan untuk mengajar. Tetapi ada rasa dosa kalau tidak masuk mengajar. Menurutnya, saat ini pun masih banyak guru yang baik, yang mempunyai kepedulian tinggi.

Waktu menjabat Dirjen Depag, ia sudah bilang kalau guru di Jakarta itu minimal take home pay-nya Rp 1 juta per bulan. Guru SMP Rp 1,5 juta. Tapi ia diketawai oleh guru-guru di desa. Kata mereka, jangankan Rp 1 juta, sekarang saja suami istri yang berprofesi guru sudah dianggap orang kaya di daerah. Mungkin kondisi guru di daerah tidak terlalu parah. Tetapi di Jakarta, anak SD diantar dengan mobil mewah oleh sopir, sementara gurunya turun dari angkot. Bayangkan, seperti itu yang terjadi.

Solusinya, kita harus berani memulai, langkah menuju perbaikan harus dikondisikan. Salah satu, mangajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Walaupun mendapat tentangan, tidak apa-apa. Ia bilang pada universitas swasta kalau surat hanya perlu ditandatangani rektor, tidak perlu koordinator perguruan tinggi swasta (Kopertis). Tapi yang di bawah selalu menjawab tidak berani, belum siap. Kalau kita selalu bilang belum siap, kapan kita akan siap kalau tidak pernah memulainya.

Mengenai restrukturisasi yang dilakukan di empat perguruan tinggi negeri (PTN), UI, UGM, ITB, dan IPB, menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) sejak tahun 2002, ia yakin akan berjalan dengan baik. "Yang swasta saja bisa apalagi PTN, yang hingga saat ini masih disubsidi. Mereka sekarang tidak berani karena pola yang ada masih birokrasi. Mengubah itu tidak gampang, tapi harus. Kita sebagai orang yang ditugasi untuk menjalankan tugas tersebut itu harus berani dan konsisten menjalankannya," ujarnya.


Post a Comment

Previous Post Next Post